Langsung ke konten utama

Postingan

Sepiring Pecel Lele dan Harga Diri

Malam itu aku berangkat latihan seperti biasa, meski ada yang berbeda. Dompetku hanya menyisakan sepuluh ribu. Uang pas untuk bensin pulang-pergi. Tak lebih. Tapi latihan adalah janji pada diri sendiri, dan seperti biasa, aku tepati. Mas pelatihku selalu mengajakku makan setelah latihan. Sudah tiga bulan ini begitu, dan hampir selalu beliau yang membayar. Aku sering sudah berjaga-jaga, membawa uang untuk sekadar bisa gantian membalas. Tapi tetap saja, beliau yang mengulurkan tangan lebih dulu. Dan aku tak pernah punya kesempatan untuk bilang, “Mas, biar aku saja.” Tapi malam itu, justru ketika aku tak punya apa-apa, kesempatan itu datang. Latihan selesai, dan seperti biasa beliau mengajak makan. Aku menolak halus, bilang masih kenyang, bilang istri sedang menunggu. Tapi beliau tahu aku berbohong. Akhirnya beliau tetap menarikku ikut. Warung langganannya tutup. Kami berdua berbelok, mencari tempat lain. Sampai akhirnya kami tiba di warung temannya—sahabat lamanya sejak SD yang baru ...
Postingan terbaru

Shodaqoh Vs Mencuri

Pagi ini adalah hari yang cerah namun terasa agak dingin mungkin menjelang musim ketiga. Berangkat bekerja terasa mulus tanpa hambatan, tetapi sialnya mesin kertas kami putus hingga kawan kami harus berkeringat di awal shift. Jelas semua orang pagi itu haus dan membutuhkan asupan air mineral. Namun, ada admin kami menegur: "Info galon datang 9 di beli 1 sisa 8 diambil ke atas 1, 1 galon sudah bukaan di bawah". Ujar Daytama Jelas perkataan tersebut memancing perdebatan antar karyawan di tempat kami. Pasalnya iuran tiap bulan ada yang rutin membayar adapula yang rutin minum tanpa mau ikut membayar. Heri adalah karyawan yang bekerja di lantai bawah tepat tukang galon mengantarkan. Wajar ia merasa tersinggung dan kemudian menjawab: "Emang betul ada aqua galon yang terbuka, mungkin udah terbayar. Saya beli isi ulang lho Dan". Jawab Heri "Gak ada info bah, ini tadi yang bayar mandor Topan aja. Kemarin mas imam uda di bawa". Sahut Daytama. ...

Drama Menjelang Akad

Cuaca malam diiringi hujan, mengguyur suasana rumah yang penuh canda dan tawa. Saudara berkumpul, kawan merangkul membesarkan sebuah hati yang sebentar lagi melepas status lajang. Semakin lama obrolan kami mengalir seperti derasnya hujan, membahas masalah negeri, pandemi yang tak tahu kapan berakhir, hingga nostalgia waktu jaman susah dahulu kala.   Tengah malam ramai bersuar dan satu persatu mulai menjelma keheningan, teman teman mulai tumbang meluruskan punggungnya sendiri sendiri: di kursi, lantai, hingga kamarku mereka singgahi. Allahu akbar.... Alllahu Akbar... (Adzan Shubuh) Tubuh ini spontan berdiri kemudian Ku tepuk pundak kawan satu persatu lantas menuju kamar mandi, bersiap bergegas menuju rumah nenek calon istri. Naas, setelah aku mengambil handuk dan berganti pakaian tiba-tiba kawanku semua menghilang balik pergi ke rumah masing-masing. Ahh sial, niat mau aku suruh anter akad nikah. Memang sengaja semalam sebelumnya kawan-kawan, tetangga tidak ada yang aku beritahu...

Buruh yang peragu

 Dahulu, tak seorang pun mengenal apa itu PT Dayasa. Bahkan, warga sekitar sempat ragu: benarkah pabrik yang sejak lima tahun terakhir pailit—Surya Kertas—akan berdiri kembali? Wajah pemilik kos kini kian berseri. Kamar-kamar kosongnya mulai banyak diminati. Penjual nasi yang sebelumnya sepi, hari ini bersyukur karena dagangannya kembali lancar. Obrolan pagi itu begitu ramai. Para ibu, tua maupun muda, membahas kabar bahwa PT Dayasa akan bangkit dan maju. Kami masih ingat betul: 50 orang pertama yang direkrut berasal dari SMK 5 Surabaya dan SMK 1 Singosari Malang. Kami mengenakan seragam Dayasa dengan penuh harap, meski tak sedikit keraguan menghantui. Saat pertama kali kami masuk, tepat satu tahun yang lalu, pabrik tampak angker. Rumput liar menjalar di setiap sudut, membuat kami bertanya-tanya: ini kerja atau uji nyali? Di depan gerbang, para demonstran berdiri. Mereka menuntut hak pesangon yang belum dibayarkan. Poster-poster protes terpampang di mana-mana, bahkan ada boneka...

Sederhana itu rumit

Di antara deretan pabrik yang menjulang, terdengar suara lantang dari seorang pria paruh baya. Ia menyuarakan kisah perjalanan hidup yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang mampu berpuasa dari sikap angkara murka. Setelah melewati berbagai peristiwa pahit, ia mulai memahami arti hidup—bukan sekadar mencari uang atau berkuasa di kursi jabatan, melainkan cukup dengan mendengar kicau burung di teras rumah sepulang kerja, sambil menimang anaknya yang bahkan usianya belum genap sebulan. Sejak remaja, Erwin dikenal sebagai pemuda pemberontak di kampungnya. Ia kerap memacu motor balapnya di gang-gang sempit, bahkan hampir setiap hari memukul anak-anak tetangga yang tidak bersalah. Bukan tanpa alasan ia berlaku sekejam itu. Sebab, seperti hukum alam: di mana ada sebab, di situ pasti ada akibat. Erwin adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak kelahiran adiknya yang bungsu, ia sering kali merasa tersisih oleh kedua orang tuanya. Setiap kali ia meminta sesuatu, permintaannya seolah tid...

Kareping Rohso, Rohsoning karep.

Senin Kasambatan Bagiku, melupakan masa lalu adalah tindakan yang seharusnya tak perlu. Bagaimana mungkin melupakan masa lalu, jika Tuhan menyadarkan manusia dengan cara pahit agar mampu mengintrospeksi diri? Agar manusia lebih berlapang dada dan benar-benar memahami makna 'Innalillahi wa inna ilaihi raji'un'. Ketika cobaan datang, aku berpikir bahwa mungkin Tuhan sedang rindu padaku. Maklum, aku sering kali hanya mengingat-Nya saat mengeluh, dan melupakan-Nya ketika sedang terlena oleh bahagia. Bahagia itu… datang setiap bulan di tanggal 27. Setelah sepekan di perantauan, aku lekas kembali ke kota kelahiran: Malang. Wajahku penuh keluh, dampak dari padatnya persaingan di kota besar. Bagiku, kota adalah hutan belantara. Jika tidak berhati-hati, seseorang bisa tergiur dan terjebak dalam kubangan foya-foya. Yang tak waspada bisa diterkam oleh binatang buas yang menjelma manusia. Ibu dan Ayah adalah alasanku pulang. Tuhan pun adalah alasan jika aku tak bisa berbu...

Urip Mung Mampir Ngombe

27 adalah tanggal yang paling aku rindukan. Selepas seharian bekerja, aku bergegas menuju mesin ATM di Indomaret untuk mengambil gaji dan berbelanja kebutuhan sebulan. Namun kepanikan melanda saat melihat saldo di layar. Gaji yang kuterima nyatanya tak cukup jika dibagi untuk cicilan, orang tua di rumah, dan biaya hidup sebulan ke depan. Padahal aku juga sedang menabung demi membeli peralatan fotografi—sekadar menuruti hobi yang sudah lama kupendam. Dengan wajah lesu, aku hanya mengambil barang-barang yang benar-benar perlu, lalu keluar dari minimarket dengan langkah gontai. Di tengah kebingungan itu, seorang kakek berpakaian lusuh menghampiriku. Tanpa berpikir panjang, aku merogoh saku dan memberinya recehan kembalian. Namun lirih terdengar ucapannya dalam bahasa Jawa, seolah menyindirku: "Cung, nek gajimu saiki ra mok syukuri, masio gajimu sepuluh juta kowe panggah sambat. Godamu saiki mung setitik ketimbang sesuk pas gajimu gedhi. Mergo kowe sampek mati yo tetep duwenin...